Jumat, 19 Juni 2020

Senyum Manis Sang Warok




Tadi malam kami bertiga benar-benar tidak dapat tidur sebab dingin yang menggigit. Hingga jam 4 pagi hari kami harus berendam air panas di telaga kecil ditengah-tengah rimba. Satu rimba yang sekarang jadi obyek wisata alam atau wana wisata yang namanya Cangar yang ada di Desa Sumber Brantas, Batu. Tetapi saat itu masih masuk daerah Kabupaten Malang. Jam 1/2 tujuh kami baru keluar dari rendaman sesudah cahaya mentari mulai menerobos pucuk-pucuk dahan pohon-pohon rimba.

Sesudah sarapan kami bertiga cari tanah cukup lega untuk berjemur sebab udara masih berasa dingin. Perjalanan yang cuma seputar 300 m dari tenda rupanya cukup memanas badan hingga tanpa ada berasa kami terus berjalan nikmati jalan setapak antara tepi rimba serta ilalang liar setinggi 1-1,5 m. Entahlah kenapa, semasa perjalanan kami membisu tanpa ada bicara sedikit juga. Kemungkinan waktu itu benar-benar kagum akan lebatnya rimba dengan omongan burung-burung betet yang saat itu ada banyak. Atau juga bisa 2 orang rekan saya sedang memendam sedikit rasa takut seperti saya tetapi tidak terucap sebab malu.

Saat dekati padang ilalang yang lumayan luas, mendadak kami sadar sudah tinggalkan tempat perkemahan sejauh 20 menit perjalanan menuruni lembah. Sadar akan ini, kami selekasnya kembali lagi. "Hee...ke mana ini. Mari kembali lagi...!" kata Wiyoto temanku yang ada paling depan.

Saya sendiri yang ada paling belakang langsung kembali serta sekarang ada paling depan. Alangkah kagetnya rupanya rimba cukup jauh kami meninggalkan. Dengan berjalan perlahan terkadang merayap untuk naik bukit yang licin kami berusaha susah payah kembali pada perkemahan. Supaya tidak terpeleset kami melewati tepi rimba dengan menjejaki akar-akar pohon.

Perihal Mencari Situs Bola Online Dipercaya

Belum seratus mtr. kami naik mendadak mata saya tertuju pada pandangan mata tajam dari satu kepala hitam antara rerimbunan semak belukar di bawah pohon besar. Beberapa menit saya heran. Anton temanku yang berada di belakangku sedikit menggerakkan sebab tidak tahu apakah yang berlangsung.

"Mari maju," tuturnya.

"Ada macan....," kataku lirih ketakutan. 

Penjual tape ketan hitam serta badhek atau air tape. Dokpri "Kik...jangan sebut-sebut macan. Bahaya. Ucap Simbah....," kata Wiyoto dengan sedikit memberikan nasehat. "Mana....?" Sambungnya. Saya yang masih heran lihat sesosok kepala harimau kumbang tersenyum dengan empat ekor anaknya cuma dapat menunjuk dengan jemari. Lihat kami bertiga, si macan kumbang ini senyum menyeringai seperti seorang warok dalam seni Reog Ponorogo dengan mengusung satu kaki depannya seolah menyebut serta bicara,"Hadirlah kesini kukeroki badanmu yang masuk angin...."

"Mbah...nyuwun sewu nderek langkung (Mbah... permisi menumpang lewat)," kata Anton dengan suara perlahan serta serak sebab takut lalu dengan perlahan-lahan mundur selanjutnya lari bersama-sama Wiyoto tanpa ada memberitahuku. Tersadarkan akan ini, saya juga langsung kembali kembali lagi turut lari bersama-sama mereka. Tentunya sekalian berteriak-teriak walaupun jarak kami tidak lebih dari pada lima mtr..

Dalam tempat kami sebelumnya mulai berasa tersesat lalu duduk istirahat dengan nafas tersengal. Baru saja kami duduk mendadak saja muncul sesosok manusia hitam. Anton yang ternyata paling terengah langsung lunglai serta tidak sadarkan diri. Saya serta Wiyoto yang tidak begitu terkejut lihat sesosok yang rupanya penjual tape ketan hitam yang berjalan kaki belasan km. dari arah Pacet, Mojokerto malah terkejut lihat Anton tidak sadarkan diri.